Sidharta Gautama Filsafat Diam

Diam, hening Siddharta. Seringkali dipahami sebagai tutup mulut secara harfiah. Lalu itu dibathinkan sebagai sebuah kemuliaan. Ini tidak ada bedanya dengan jargon:
“Diam itu adalah emas” ..... Pelaku kemana-mana memasang gembok di bibirnya.

Itu juga sama dengan malpraktek penafsiran terhadap sabar. Sabar, diartikan sebagai sikap pasif. Sabar menjadi bathinisasi atas kemalasan dan ketidakberdayaan.

Dalam penafsiran saya,
Sabar itu adalah sebuah pertarungan bathin. Diantara 2 tegangan yang paradoks. Dunia dalam, dua sisi mata uang dengan dunia luar
Diluar, segala aksi tetap dilakukan. Sedang didalam, tidak terusik oleh segala carut marut perjuangan. Dengan kata lain. Sabar adalah sikap bathin tanpa keluh kesah. Meski tangan dan kaki, penuh nanah berlumuran darah dalam pendakian

Begitu juga dengan filsafat diam Siddharta
Diam, adalah sebuah perjalanan kembali setelah jauh berpetualang. Dia, adalah awal dari akhir. Bukan sesuatu yang dibathinkan sebelum mulai. Bukan sebuah malas dan bodoh yang dikunci sebagai sebuah kemuliaan. Tapi adalah, sebuah pengakuan jujur atas ketidakberdayaan manusia dalam memahami Realitas Absolut. Tentang dunia lain di angan-angan metafisik. Tentang segala sesuatu dibalik segala yang tampak
Karena telah disadari, bahwa semua itu, hanya sebuah spekulasi intelektual yang tidak menjawab apa-apa. Sehingga diujung segala pencarian ke langit ketujuh. Bukan sebuah perjumpaan dengan dunia lain. Tapi adalah perjumpaan dengan keterbatasan diri secara mendalam

Disaat itulah “diam” menyapu segala kesombongan manusia secara intelektual dan emosional. Menjadi hening tanpa istilah.

Comments