Sebenarnya, semua emosi, memori, dan komponen-komponen mental yang kita miliki ada semata-mata untuk menunjang keberlangsungan kehidupan kita; agar kita bisa bertahan hidup dengan mulus dan lancar. Semua komponen mental itu punya tujuan baik.
Misalnya, emosi sedih. Dia adalah sinyal yang mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam atau di luar diri yang tidak beres, emosi itu ingin kita membereskannya agar kehidupan kita tidak terganggu. Begitu juga dengan emosi marah, takut, jijik, senang, dan seterusnya.
Terlepas dari apapun label yang kita berikan pada emosi, mereka ada untuk kebaikan kita sendiri.
Kadang-kadang, emosi menjadi hal yang jelek ketika kita:
1. Menolak mengakuinya
2. Menolak merasakannya
Kita suka sekali menolak mengakui bahwa kita sedang merasa sedih, kecewa, dan emosi-emosi yang kita labeli “negatif” lainnya. Kita juga menolak untuk merasakan itu semua saat mereka sedang berkunjung.
Emosi yang punya “niat baik” itu pun bisa kecewa karena selalu ditekan dan diabaikan. Mereka akan datang kembali, menggapai-gapai ke permukaan, berusaha meraih perhatian kita, dengan cara yang lebih buruk, dengan sinyal yang akan lebih sulit untuk kita pahami. Persis yang dikatakan oleh psikiater Sigmund Freud, “Emosi yang tidak terekspresikan tidak akan pernah mati. Mereka terpendam dalam dan akan muncul dalam bentuk yang lebih buruk.”
Pola di atas tidak sehat, tapi kita suka memeliharanya.
Merasakan “emosi negatif” memang tidak enak, tidak nyaman, sehingga wajar kalau kita menolaknya alih-alih merasakannya. Tapi dengan cara itu kita tidak akan “sembuh.”
Katakan padanya, “Aku tahu kamu (emosi ...) punya maksud baik. Terima kasih karenanya. Aku menerimamu dengan ikhlas. Sekarang, aku izinkan kamu untuk lepas karena semua sudah cukup, aku sudah menangkap pesan-pesan yang ingin kamu sampaikan.”
Mari berlatih.
Ini tidak mudah.
Tapi hasilnya setimpal demi kesehatan mental.
Misalnya, emosi sedih. Dia adalah sinyal yang mengatakan bahwa ada sesuatu di dalam atau di luar diri yang tidak beres, emosi itu ingin kita membereskannya agar kehidupan kita tidak terganggu. Begitu juga dengan emosi marah, takut, jijik, senang, dan seterusnya.
Terlepas dari apapun label yang kita berikan pada emosi, mereka ada untuk kebaikan kita sendiri.
Kadang-kadang, emosi menjadi hal yang jelek ketika kita:
1. Menolak mengakuinya
2. Menolak merasakannya
Kita suka sekali menolak mengakui bahwa kita sedang merasa sedih, kecewa, dan emosi-emosi yang kita labeli “negatif” lainnya. Kita juga menolak untuk merasakan itu semua saat mereka sedang berkunjung.
Emosi yang punya “niat baik” itu pun bisa kecewa karena selalu ditekan dan diabaikan. Mereka akan datang kembali, menggapai-gapai ke permukaan, berusaha meraih perhatian kita, dengan cara yang lebih buruk, dengan sinyal yang akan lebih sulit untuk kita pahami. Persis yang dikatakan oleh psikiater Sigmund Freud, “Emosi yang tidak terekspresikan tidak akan pernah mati. Mereka terpendam dalam dan akan muncul dalam bentuk yang lebih buruk.”
Pola di atas tidak sehat, tapi kita suka memeliharanya.
Merasakan “emosi negatif” memang tidak enak, tidak nyaman, sehingga wajar kalau kita menolaknya alih-alih merasakannya. Tapi dengan cara itu kita tidak akan “sembuh.”
Katakan padanya, “Aku tahu kamu (emosi ...) punya maksud baik. Terima kasih karenanya. Aku menerimamu dengan ikhlas. Sekarang, aku izinkan kamu untuk lepas karena semua sudah cukup, aku sudah menangkap pesan-pesan yang ingin kamu sampaikan.”
Mari berlatih.
Ini tidak mudah.
Tapi hasilnya setimpal demi kesehatan mental.
Comments
Post a Comment