Sejak SD hingga kuliah sebenarnya saya tidak begitu percaya pendidikan formal, sejak SD pula saya sering bolos dan menentang guru, lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan daripada di kelas. Bahkan sepanjang SD hingga kuliah belum satu buku pun penuh oleh catatan , karena saya memang hampir ga pernah mencatat dan sering dimarahi guru dan dosen karenanya.
Tapi malas pendidikan formal bukan berarti tidak belajar, hampir semua buku di perpustakaan saya baca dan sampai kenal baik dengan petugas perpustakaan. Pikir saya waktu itu, dunia itu jauh lebih luas daripada cuma di sekolah.
Setelah ada internet, hobi membaca semakin menggila. Dan karena belajar pula akhirnya membuka pikiran saya akan kebodohan-kebodohan saya di masa lalu, ketika awal kuliah sempat saya berpikir hidup itu cuma kerja mapan, berkeluarga, punya rumah dan mobil dan lalu menunggu mati. Lalu bertemulah saya buku-buku yang mengguncang segala sendi kehidupan saya, buku-bukunya Hawking sampai Einstein yang melabrak dogma-dogma agama dan budaya yang dulu pernah saya pegang, lalu buku-bukunya Kurzweil yang membuat saya sadar bahwa sungguh hidup cuma 100 tahun dan lalu mati adalah kesia-siaan belaka dan hidup yang jauh lebih menarik itu sangat memungkinkan dengan teknologi upload nyawa yang akan terwujud sebelum pertengahan abad 21. Menjelajah bintang-bintang dan menciptakan semesta-semesta sendiri
Dan ilmu itu akan saya terus kejar, saya membaca buku siapapun yang bisa mengubah masa depan dunia secara fundamental, dari dewa fisika Leonard Susskind dengan teori semesta hologramnya dan teori blackholenya yang mengalahkan Hawking, lalu dewa-dewa Artificial Intelligence dari Stuart Russell, Stephen Wolfram, Andrew Ng, dsb, pemikir-pemikir politik ekonomi revolusioner dari Chomsky, Amartya Sen, Jeffrey Sachs, dsb, lalu Jennifer Doudna yang dengan edit DNA CRISPR nya bisa mengubah tubuh manusia menjadi apapun, dan tak lupa para pencetus teknologi revolusioner seperti pendiri DWave Quantum Computer. Mereka adalah guru-guru saya yang membuat saya terkesima, yang ketika membaca bukunya saya merasa hidup ini jauh lebih menggairahkan. Dan ketika membaca buku mereka saya merasa masih terlalu bodoh dan banyak yang masih perlu dipelajari dan dilakukan.
Bagi saya sekolah sebenarnya adalah seluruh semesta itu sendiri, dan guru-guru terbaiknya adalah siapapun yang membuat saya tertunduk bodoh dan bersemangat untuk selalu belajar dan belajar tanpa henti. Masa depan yang tak terkira indahnya adalah tujuannya, karena surga itu tidak ada, maka surga semesta harus kita ciptakan sendiri dengan segenap daya upaya.
Tapi malas pendidikan formal bukan berarti tidak belajar, hampir semua buku di perpustakaan saya baca dan sampai kenal baik dengan petugas perpustakaan. Pikir saya waktu itu, dunia itu jauh lebih luas daripada cuma di sekolah.
Setelah ada internet, hobi membaca semakin menggila. Dan karena belajar pula akhirnya membuka pikiran saya akan kebodohan-kebodohan saya di masa lalu, ketika awal kuliah sempat saya berpikir hidup itu cuma kerja mapan, berkeluarga, punya rumah dan mobil dan lalu menunggu mati. Lalu bertemulah saya buku-buku yang mengguncang segala sendi kehidupan saya, buku-bukunya Hawking sampai Einstein yang melabrak dogma-dogma agama dan budaya yang dulu pernah saya pegang, lalu buku-bukunya Kurzweil yang membuat saya sadar bahwa sungguh hidup cuma 100 tahun dan lalu mati adalah kesia-siaan belaka dan hidup yang jauh lebih menarik itu sangat memungkinkan dengan teknologi upload nyawa yang akan terwujud sebelum pertengahan abad 21. Menjelajah bintang-bintang dan menciptakan semesta-semesta sendiri
Dan ilmu itu akan saya terus kejar, saya membaca buku siapapun yang bisa mengubah masa depan dunia secara fundamental, dari dewa fisika Leonard Susskind dengan teori semesta hologramnya dan teori blackholenya yang mengalahkan Hawking, lalu dewa-dewa Artificial Intelligence dari Stuart Russell, Stephen Wolfram, Andrew Ng, dsb, pemikir-pemikir politik ekonomi revolusioner dari Chomsky, Amartya Sen, Jeffrey Sachs, dsb, lalu Jennifer Doudna yang dengan edit DNA CRISPR nya bisa mengubah tubuh manusia menjadi apapun, dan tak lupa para pencetus teknologi revolusioner seperti pendiri DWave Quantum Computer. Mereka adalah guru-guru saya yang membuat saya terkesima, yang ketika membaca bukunya saya merasa hidup ini jauh lebih menggairahkan. Dan ketika membaca buku mereka saya merasa masih terlalu bodoh dan banyak yang masih perlu dipelajari dan dilakukan.
Bagi saya sekolah sebenarnya adalah seluruh semesta itu sendiri, dan guru-guru terbaiknya adalah siapapun yang membuat saya tertunduk bodoh dan bersemangat untuk selalu belajar dan belajar tanpa henti. Masa depan yang tak terkira indahnya adalah tujuannya, karena surga itu tidak ada, maka surga semesta harus kita ciptakan sendiri dengan segenap daya upaya.
Comments
Post a Comment